Sejatinya, istilah atau konsep “food estate”
tidak ditemukan dalam dunia akademis ataupun referensi pembangunan pertanian (referensi
berbahasa Inggris). Demikian pula, pada berbagai dokumen yang dikeluarkan
lembaga internasional tidak ditemukan term
ini. Dengan kata lain, istilah “food
estate”, meskipun berbahasa Inggris, adalah hasil kreasi pemerintah
Indonesia sendiri dan hanya ditemukan pada media massa dan laporan-laporan
kegiatan yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia.
Program food estate sudah beberapa kali dijalankan di Indonesia. Salah satu yang agak besar adalah food estate di Papua yang disebut Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) pada tahun 2006-2011, serta rice estate di Kalimantan Tengah yang disebut Mega Rice Project in Peat Land atau Pengembangan Lahan Gambut (MRP2L) Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah pada tahun 1995- 1999. Proyek MIFFE di Papua direncanakan pada 2006 dengan luas 1 juta ha dibagi dalam beberapa zona dan klaster. Sementara, proyek PLG di Kalimantan Tengah direncanakan pada tahun 1995 dengan luas hamparan 1 juta ha yang dibagi dalam lima blok kerja, terletak sebagian di Kota Palangka Raya, Kabupaten Kapuas, Pulang Pisau, dan Barito Selatan. Proyek MIFEE dihentikan pada tahun 2015 dan PLG dihentikan pada tahun 1999. Kawasan PLG ini kemudian pernah direncanakan untuk program revitalisasi dan rehabilitasi pada tahun 2007 (Inpres No. 2/2007) dengan disusunnya master plan baru, tetapi hanya terlaksana pada pembangunan infrastruktur jalan, sedangkan pengembangan pertanian tidak berjalan.
Beberapa Pemerintah Daerah seperti Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat juga pernah berinisiasi untuk membangun food estate atau rice estate. Misalnya Rice Estate di Kutai Kartanegara, Panajam dan Paser, Kalimantan Timur (2014-2018) dan Rice Estate di Kubu Raya, Kalimantan Barat (2011-2014). Daerah rawa ini merupakan rawa pasang surut yang dibangun pada era 1970-1990-an sebagai Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT), antara lain UPT Terusan di Kalimantan Tengah, UPT Terantang di Kalimantan Selatan, dan UPT Telang 1 di Sumatera Selatan.
Namun keberhasilan program ini relatif rendah. Pembelajaran dari ketidakberhasilan program food estate tersebut penting sebagai cermin dan titik tolak dalam mewujudkan kawasan food estate yang direncanakan ke depan. Faktorfaktor ketidakberhasilan tersebut, antara lain adalah karena infrastruktur tata airnya belum memadai, komitmen dan partisipasi pemerintah daerah dan masyarakat terbatas, kendala sosial ekonomi dan budaya masyarakat, pengetahuan dan teknologi belum memadai, serta aspek lingkungan yang kurang mendapatkan perhatian. Seluruh food estate ini terbatas untuk pengembangan komoditas padi dan mengandalkan lahan rawa.
Namun, banyak
juga pengembangan pertanian di beberapa daerah lahan rawa yang berhasil dan
berkembang dengan baik, meskipun tidak melalui program food estate; contohnya
adalah UPT Terusan di Kalimantan Tengah, UPT Terantang di Kalimantan Selatan,
serta UPT Telang dan Upang di Sumatera Selatan. Selain itu, pengembangan
pertanian di beberapa wilayah lahan rawa di Jambi, Riau, dan Kalimantan Barat
memberikan hasil yang baik dan menjadi wilayah pemasok bahan pangan bagi daerah
di sekitarnya. Mulai dari 2020, pemerintah akan menggulirkan Program
Peningkatan Penyediaan Pangan Nasional yang selanjutnya disebut Food Estate
yang akan dilaksanakan di Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan
Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Papua
(sumber: Rancangan Perpres Food Estate).
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar