Sabtu, 11 Juli 2020

Asset Bantuan Milik Siapa?

Jika ada bantuan dari pemerintah, misalnya berupa taktor olah tanah atau RMU, kepada siapa akan diberikan? Jelas ke petani, akan milik petani. Tentu bisa kelompok tani, Gapoktan atau ke koperasi petani.

Dengan kata lain, asset bukan milik Pemda, juga bukan milik BUMD (Badan Usaha Milik Daerah). Hal ini dapat dijelaskan dengan logika berikut.

Jika mengacu pada amanah Pa Presiden Jokowi pada Ratas bulan September 2017, yang lalu telah dikuatkan dengan Permentan 18-2018, serta juga sudha disusunkan Grand Design Korporasi Petani di kementan, serta bahkan Rancangan Perpres yang sedang proses; maka bahasanya jelas, Pa Presiden ingin membentuk KORPORASI PETANI. Tekanan pada “petani” nya.

Yaitu badan usaha milik petani. Satu atau beberapa perusahaan (atau koperasi) yang dimiliki dan dijalankan petani.  Badan usaha (bisa koperasi, bisa perusahaan) yang dimiliki petani. Badan usaha miliknya petani. Tekanan pada kata "MILIK" ya.  "Milik" beda dengan yang "menjalankan".

“Milik” beda dengan yang “menjalankan”.  Ibarat  Pa Haji juragan angkot, tentu saja  angkot-angkot tersebut milik nya. Semua angkot asset nya, keuntungan usaha ya masuk ke kantongnya Pa Haji. Namun, yang "menjalankan" tentu bukan pa haji. Ga mungkin tu angkot disetirin semua sama Pa Haji.

Demikian pula "korporasi petani". Petani2 tua, maaf, dengan pendidikan dan keterampilan manajemen seadanya adalah “pemilik korporasi”. Ya sebagai anggota dan pengurus koperasi.  Tapi yg menjalankan tentu bukan mereka. Bisa manajer yang dibayar profesional, bisa anak-anak muda (anaknya petani yang pegang komputer, yang mengerti IT, yang faham akuntansi pakai aplikasi, dan lain-lain. Kira-kira ini adalah anak-anak milienial.

Jadi, koperasi "dimiliki bapaknya, dijalankan anak nya". Kira2 begitu taglinenya. Agar diviralkan ya, hehe.

Mengapa Pa Presiden kekeuh banget ini harus MILIK PETANI? Karena, sebagaimana terbaca di media massa, bahwa Bapak kita ini ingin semua nilai2 tambah dari bisnis off farm yang selama ini lari ke pelaku-pelaku  lain, MENJADI SUMBER PENDAPATAN bagi petani.

Ada dua bentuk bisnis off farm disini. Saya sebut saja "off farm hulu" dan "off farm hilir"

Contoh off farm hulu: bisnis produksi benih. Sebutkah sebuah area koproasi (satu kecamatan misalnya) memiliki total sawah 3.000 ha. Dengan IP 2 kali, maka total tanam setahun 6.000 ha. Berarti butuh benih 6.000 ha x 25 kg = 150.000 kg benih.

Berapa potensi pendapatannya?  Mari kita hitung: 150.000 kg benih x Rp 3.000 per kg = Rp 450 juta.

Petani bisa bikin benih. Ga susah. Dengan bantuan BPSB tentunya. Yang menanam calon benih ya petani (individual, yang bisa di bawah koordinasi kelompok tani), dan petani mendapat harga bagus misalnya Rp.5.500 per kg GKP. Koperasi lah yang membeli calon benih,  serta lalu memproses dan melabelinya sehingga menjadi benih berlabel. Maka, koperasi dapat Rp 450 juta setahun.

Itu baru dari benih. Ada lagi dari pupuk, pengelolaan Alsintan, RMU,

Korporasi petani akan fokus mengelola usaha OFF FARM dulu. sedangkan ON FARM masih tetap dijalankan petani masing-masing sebagai usaha individual.

Koperasi melayani semua sarana produksi (= off farm hulu). Dan, koperasi juga membeli semua hasil petani (= off farm hilir)

Kenapa on farm tetap diserahkan ke petani? Karena pengalaman project corporaste farming dll, petani paling sulit "menyerahkan" pengelolaan lahannya ke pihak lain. Oke lah. Nah, nanti secara bertahap, jadwal tanam dan lain-lain akan terbentuk dengan sendiri nya, karena koperasi memegang sarana produksi di hulu, termasuk air, juga di bagian hilir nya.

Kira2 demikian. Ini sudah mempertimbangkan kultur petani-petani kita, juga skala usaha yg kecil-kecil. Sementara di on farm juga ada kendala lain, karena antara pemilik dan penggarap ada skema kerjasama sendiri.

Sekali lagi, sementara on farm belum dikelola koperasi dulu. Artinya tidak menjadi collective action dulu. Jika memungkinkan suatu saat nanti, why not.

****