Sabtu, 27 Maret 2021

Landasan Yuridis KORPORASI PETANI

 

Sampai saat ini, sudah cukup banyak regulasi dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah berkenaan dengan integrasi kelembagaan petani (KP) dan Kelembagaan Ekonomi Petani (KEP) ke dalam korporasi petani di antaranya adalah: (1)  Undang-undang No 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, (2) Permentan No 56 tahun 2016 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian, (3) Peraturan Menteri Pertanian Nomor 18 tahun 2018 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Berbasis Korporasi Petani, (4) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2020-2024, (5) Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2020-2024, Kementerian Pertanian, (6) UU Nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan; (7) UU Nomor 25 tahun 1992 2012 tentang Perkoperasian, serta (8) Permentan Nomor 82/2013 tentang Pedoman Pembinaan Kelompok Tani (Poktan) dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Kebijakan ini memberi batasan sekaligus peluang untuk pengorganisasian petani.

Dari sisi yuridis, konsep korporasi petani secara tidak langsung dimuat dalam UU Nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (P3), yang disebut dengan Kelembagaan Ekonomi Petani (KEP) atau badan Usaha Milik Petani (BUMP). Sementara, konsep “korporasi petani” secara tegas tercantum pada Permentan Nomor 18 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian Berbasis Korporasi Petani.

Pasal 1 UU Nomor 19 tahun 2013 menyebutkan Kelembagaan Ekonomi Petani adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan usaha tani yang dibentuk oleh, dari dan untuk petani, guna meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha tani, baik yangberbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Permentan Nomor 18 Tahun 2018 relatif berbeda memaknai korporasi, dimana korporasi petani adalah “Kelembagaan Ekonomi Petani berbadan hukum berbentuk koperasi atau badan hukum lain dengan sebagian besar modal dimiliki oleh petani”. Perbedaan dari kedua regulasi ini adalah jika Kelembagaan Ekonomi Petani dapat berbadan hukum atau tidak, sedangkan korporasi harus berbadan hukum.

Pasal 70 ayat 2 UU P3 tahun 2013 menyebutkan Kelembagaan Ekonomi Petani berupa Badan Usaha Milik Petani (BUMP); sedangkan Pasal 80 menyatakan BUMP dibentuk oleh, dari dan untuk petani melalui Gapoktan dengan penyertaan modal yang seluruhnya dimiliki oleh Gapoktan; dan BUMP berbentuk koperasi atau badan usaha lainnya.BUMP berfungsi meningkatkan skala ekonomi, daya saing, wadah investasi dan mengembangkan kewirausahaan petani.Dengan demikian, Kelembagaan Ekonomi Petani adalah lembaga milik petani yang berperan kedalam dan keluar wilayah dengan menjalin kerjasama secara luas dengan berbagai pihak dan mitra bisnis. Kelembagaan Ekonomi Petani bertujuan untuk pengembangan agribisnis sehingga harus berbentuk korporasi.

Undang-Undang No 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani menjadikan “kelembagaan petani” (KP) dan “kelembagaan ekonomi petani” (KEP) sebagai pelaku utama dalam agribisnis. Kelembagaan petani dalam UU ini dan regulasi yang lain, yang sudah dikenal luas ialah kelompok tani dan Gapoktan; sedangkan kelembagaan ekonomi petani di antaranya adalah koperasi tani. Poktan dan Gapoktan berfungsi sebagai wadah konsolidasi petani guna mewujudkan konsolidasi usahatani. Dari aspek teknis usahatani, Poktan dan Gapoktan merupakan instrumen untuk meningkatkan skala usaha bersama.

Dalam Permentan no 18 tahun 2018 tersebut, Korporasi Petani didefinisikan sebagai Kelembagaan Ekonomi Petani berbadan hukum berbentuk koperasi atau badan hukum lain dengan sebagian besar kepemilikan modal dimiliki oleh petani. Sedangkan Kawasan Pertanian Berbasis Korporasi Petani adalah Kawasan Pertanian yang dikembangkan dengan strategi memberdayakan dan mengkorporasikan petani. Berdasarkan Permentan No 18 tahun 2018 tersebut, dalam rangka efektivitas manajemen pembangunan pertanian, Kawasan Pertanian dibagi menurut kelompok yang mencerminkan basis komoditas utama yang dikembangkan, yaitu: (a) Kawasan Tanaman Pangan; (b) Kawasan Hortikultura; (c) Kawasan Perkebunan; dan (d) Kawasan Peternakan.

Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa berdasarkan kebutuhan untuk pengorganisasian petani sebagai pelaku ekonomi yang mampu memenuhi kebutuhan pendekatan pembangunan berbasis kawasan, maka kelembagaan ekonomi petani mestilah kuat secara ekonomi serta sekaligus memiliki legalitas yang bisa masuk dalam sistem ekonomi modern. Sebagaimana pula kebijakan yang berkembang, maka pilihannya adalah berupa korporasi. Ini sesuai dengan Permentan No 18 tahun 2018,  bahwa pengembangan kawasan pertanian dilakukan dengan berbasiskan korporasi petani.

Korporasi petani merupakan sebuah terobosan baru kelembagaan petani di Indonesia, yang memiliki kebaruan dalam hal manajemen, pendekatan dan program pendampingannya. Korporasi petani juga merupakan sebuah model bisnis dan pendekatan baru dalam pembangunan pertanian dan kesejahteraan petani. Korporasi petani dibangun dengan tujuan; (a) meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani, (b) memperkuat sistem usahatani, (c) meningkatkan nilai tambah dan daya saing, (d) meningkatkan kapasitas petani dan kelembagaan usaha petani yang mandiri, (e) meningkatkan adopsi teknologi dan mekanisasi pertanian yang maju dan modern, (f)  meningkatkan akses informasi, teknologi, sarana prasarana, pembiayaan, pengolahan dan pemasaran.

Korporasi petani merupakan model bisnis untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani melalui pengelolaan sumberdaya pertanian secara terpadu, terintegrasi, konsisten dan berkelanjutan. Pengembangan korporasi petani melibatkan berbagai usaha dari hulu yang meliputi usaha perbenihan, pupuk, pestisida, alat mesin pertanian, jasa pengolahan tanah, usaha budidaya, dan pembiayaan sampai hilir yang meliputi pengolahan, pengemasan dan pemasaran hasil dalam satu sistem manajemen korporasi (korporat).

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar