Jika
ada bantuan dari pemerintah, misalnya berupa taktor olah tanah atau RMU, kepada
siapa akan diberikan? Jelas ke petani, akan milik petani. Tentu bisa kelompok
tani, Gapoktan atau ke koperasi petani.
Dengan
kata lain, asset bukan milik Pemda, juga bukan milik BUMD (Badan Usaha Milik Daerah).
Hal ini dapat dijelaskan dengan logika berikut.
Jika
mengacu pada amanah Pa Presiden Jokowi pada Ratas bulan September 2017, yang lalu
telah dikuatkan dengan Permentan 18-2018, serta juga sudha disusunkan Grand Design
Korporasi Petani di kementan, serta bahkan Rancangan Perpres yang sedang proses;
maka bahasanya jelas, Pa Presiden ingin membentuk KORPORASI PETANI. Tekanan
pada “petani” nya.
Yaitu
badan usaha milik petani. Satu atau beberapa perusahaan (atau koperasi) yang
dimiliki dan dijalankan petani. Badan
usaha (bisa koperasi, bisa perusahaan) yang dimiliki petani. Badan usaha
miliknya petani. Tekanan pada kata "MILIK" ya. "Milik" beda dengan yang
"menjalankan".
“Milik”
beda dengan yang “menjalankan”. Ibarat Pa Haji juragan angkot, tentu saja angkot-angkot tersebut milik nya. Semua angkot
asset nya, keuntungan usaha ya masuk ke kantongnya Pa Haji. Namun, yang
"menjalankan" tentu bukan pa haji. Ga mungkin tu angkot disetirin
semua sama Pa Haji.
Demikian
pula "korporasi petani". Petani2 tua, maaf, dengan pendidikan dan keterampilan
manajemen seadanya adalah “pemilik korporasi”. Ya sebagai anggota dan pengurus
koperasi. Tapi yg menjalankan tentu
bukan mereka. Bisa manajer yang dibayar profesional, bisa anak-anak muda (anaknya
petani yang pegang komputer, yang mengerti IT, yang faham akuntansi pakai
aplikasi, dan lain-lain. Kira-kira ini adalah anak-anak milienial.
Jadi,
koperasi "dimiliki bapaknya, dijalankan anak nya". Kira2 begitu
taglinenya. Agar diviralkan ya, hehe.
Mengapa
Pa Presiden kekeuh banget ini harus MILIK PETANI? Karena, sebagaimana terbaca
di media massa, bahwa Bapak kita ini ingin semua nilai2 tambah dari bisnis off
farm yang selama ini lari ke pelaku-pelaku lain, MENJADI SUMBER PENDAPATAN bagi petani.
Ada
dua bentuk bisnis off farm disini. Saya sebut saja "off farm hulu"
dan "off farm hilir"
Contoh
off farm hulu: bisnis produksi benih. Sebutkah sebuah area koproasi (satu kecamatan
misalnya) memiliki total sawah 3.000 ha. Dengan IP 2 kali, maka total tanam
setahun 6.000 ha. Berarti butuh benih 6.000 ha x 25 kg = 150.000 kg benih.
Berapa
potensi pendapatannya? Mari kita hitung:
150.000 kg benih x Rp 3.000 per kg = Rp 450 juta.
Petani
bisa bikin benih. Ga susah. Dengan bantuan BPSB tentunya. Yang menanam calon
benih ya petani (individual, yang bisa di bawah koordinasi kelompok tani), dan
petani mendapat harga bagus misalnya Rp.5.500 per kg GKP. Koperasi lah yang membeli
calon benih, serta lalu memproses dan
melabelinya sehingga menjadi benih berlabel. Maka, koperasi dapat Rp 450 juta
setahun.
Itu
baru dari benih. Ada lagi dari pupuk, pengelolaan Alsintan, RMU,
Korporasi
petani akan fokus mengelola usaha OFF FARM dulu. sedangkan ON FARM masih tetap
dijalankan petani masing-masing sebagai usaha individual.
Koperasi
melayani semua sarana produksi (= off farm hulu). Dan, koperasi juga membeli
semua hasil petani (= off farm hilir)
Kenapa
on farm tetap diserahkan ke petani? Karena pengalaman project corporaste
farming dll, petani paling sulit "menyerahkan" pengelolaan lahannya
ke pihak lain. Oke lah. Nah, nanti secara bertahap, jadwal tanam dan lain-lain akan
terbentuk dengan sendiri nya, karena koperasi memegang sarana produksi di hulu,
termasuk air, juga di bagian hilir nya.
Kira2
demikian. Ini sudah mempertimbangkan kultur petani-petani kita, juga skala
usaha yg kecil-kecil. Sementara di on farm juga ada kendala lain, karena antara
pemilik dan penggarap ada skema kerjasama sendiri.
Sekali
lagi, sementara on farm belum dikelola koperasi dulu. Artinya tidak menjadi
collective action dulu. Jika memungkinkan suatu saat nanti, why not.